Teraswisata - Saat kaki memasuki wedangan Omahe Whawin, pengunjung disambut gapura dengan ukiran Bali dan juga alunan musik rindik bambu khas Bali yang membuat suasana terasa tenang dan teduh.
Semakin ke dalam suasan Bali makin kental terasa dengan banyaknya ornamen Bali yang sengaja di pasang di berbagai sudut ruangan. Seperti payung besarnya, patung-patung bahkan seragam pegawainya juga mengenakan perpaduan Jawa dan Bali. Bahan batik namun dililitkan seperti sarung Bali.
Dengan mengusung tagline “Ubudnya Solo” Wedangan Omahe Whawin, juga dipenuhi pohon Kamboja menjadi spot foto Selfie bagi para pengunjung. Banyak venue yang bisa dipilih pengunjung. Indoor, lesahan di joglo atau dibawah payung cantik.
Suasana wedangan Omahe Whawin kental dengan nuasa khas resto yang banyak bertebaran di wilayah Ubud. Yang kebanyakan bersembunyi di kampung dengan jalan kecil. Ubud identik dengan suasana pedesaan, yang jauh dari bising perkotaan.
Wisatawan mengunjungi Ubud mencari suasana yang asri dan tenang. Kebetulan juga Wedangan Omahe Whawin juga berada di perkampungan warga. Sehingga suasana pedesaan masih kental terasa.
Selama ini angkringan di kota Solo belum ada yang memakai konsep Bali. Padahal antara Bali dan Jawa memiliki kesamaan, dari gamelanya, juga aksaranya. Pemiliknya yakni Whawin Laura terinspirasi dengan resto Ubud yang tempatnya 'nylempit' di jalan-jalan kecil.
Namun begitu masuk lokasi suasana nyaman bisa di dapatkan. Untuk masuk ke wedangan omahe Whawin pengunjung harus memasuki gang kecil sepanjang kurang lebih 50 meter.
Angkringan Omahe Whawin, berada di tanah seluas 1.000 meter persegi di wilayah RT 02 RW 13, jalan Kelud Selatan no 42 Kadipiro, Solo. Lokasi bangunan perpaduan antara Jawa dan Bali yang tertuang dalam rumah joglo, kursi anyaman kuno, kandang kebo yang sudah di desain menjadi lesehan yang nyaman.
Gebyok antik, ada juga dokar (andong), patung kepala Budha, dan pernak-pernik serta patung khas Bali dan Jawa. Selain itu di wedangan Omahe Whawin dipenuhi koleksi barang lawas bernilai seni tinggi. Karena sang pemilik merupakan kolektor barang antik.
Sehingga hobi mengoleksi barang lawasan menjadi konsep usaha kuliner yang baru dirintisnya sejak Februari 2016 lalu. Pengunjung bisa berfoto sambil menikmati aneka sajian kuliner yang ditawarkan.
Meski desain wedangan Omahe Wawin merupakan perpaduan Bali dan Jawa, namun kuliner yang disajikan merupakan menu khas Jawa. Bahkan menu utamanya merupakan masakan khas pesisir Pantura seperti Mangut Ndas Manyung.
Masakan berkuah kaya akan rempah ini rasanya gurih bercampur dengan terong. Mangut Ndas Manyung sangat cocok dinikmati dengan nasi hangat. Harganya sekitar Rp 30 ribu per porsinya dan bisa dinikmati untuk empat orang.
Menu pesisir lain yang juga di minati pengunjung diantaranya Pecel Uleg Lontong, Tahu Campur Lontong, Pecel Petis Lontong, Mangut Wak Lele, Mangut Wak Welut, bothok mercon. Selain menu utama, juga disajikan menu khas angkringan dengan lauknya beragam jenis sundukan.
Berbagai nasi kucing disajikan dengan dibakar, seperti Nasi Bakar Ayam, Nasi Bakar Bebek, Nasi Bakar Otak-otak Bandeng, Nasi Bakar Kakap, Nasi Bakar Telur, Nasi Bakar Tahu Tempe, dan sebagainya.
Menu lain yang khas dari wedangan Omahe Wawin yakni Sweeke Ayam Kampung, resep rahasia dari ibunya. Biasanya sweeke identik dengan daging Kodok. Namun masakan di Omahe Wawin menggunakan ayam dan bumbu taouco. Harga makanan bervariasi antara Rp 5.000 – Rp 30 ribu.
Untuk minumannya, beragam minuman tradisional seperti Wedang Uwuh, Wedang Soklat, Wedang Jahe Gepuk, Wedang Beras Kencur, dan Es Omahe Whawin tersedia dengan harga mulai minumannya antara Rp 3.500 – Rp 8.500.
Minuman khasnya adalah wedang Lower, campuran dari rempah jahe, kapulogo, dan kayu manis dan diberi sedikit merica. Rasanya hangat dan segar. (Dian )