Desa Tenganan Pegringsingan merupakan salah satu desa Bali Aga yang terletak di kecamatan Manggis kabupaten Karangasem
TERASWISATA - Tradisi turun temurun di desa Tenganan Pegeringsingan masih terjaga sampai saat ini.
Desa Tenganan Pegringsingan merupakan salah satu desa Bali Aga yang terletak di kecamatan Manggis kabupaten Karangasem.
Letak desa yang berada jauh di tengah membuat jarak tempuh ke desa tenganan dari kota Amlapura mencapai 18 km dan kurang lebih 67 km dari kota pusat kota Denpasar.
Masyarakat desa tersebut memiliki ritual yang disebut dengan Mekare-kare, sebuah tradisi dalam pemujaan kehadapan Dewa Indra sebagai dewa perang masyarakat desa Adat Tenganan.
Mekare-kare dikemas dalam bentuk adu ketangkasan, adu keberanian layaknya orang yang sedang berperang.
Untuk itu Mekare juga dikenal sebagai tari perang. Dikatakan tari perang karena pada saat pelaksanaanya, ritual Mekare menggunakan beberapa sarana yang mencerminkan adanya peperangan, berupa tamiang.
Tamiang adalah perisai yang terbuat dari anyaman rotan, dan senjata berupa seikat daun pandan berduri, sehingga ritual Mekare sering juga dikenal dengan istilah “Perang Pandan”.
Pandan yang digunakan tergolong jenis pandan duri oleh penduduk setempat disebut pandan lengis.
Tidak ada ketentuan khusus terkait jumlah dan panjang satu ikatan pandan.
Semua menyesesuaikan dengan jangkauan kepalan tangan peserta mekare. Tidak kalah penting sarana untuk mengobati luka adalah Bore Kare.
Bore Kare ini dibuat menggunakan bahan-bahan alami antara lain, kunir, lengkuas, dan asam cuka.
Bahan-bahan tersebut diolah di tempat khusus yakni gantih nyoman dan dihaturkan ke gedong patemu sebagai bentuk permohonan kepada Tuhan agar bore kare tersebut bisa mengobati luka yang diakibatkan oleh duri pandan saat mekare.
Pelaksanaan mekare melibatkan peserta dari unsur truna desa sebagai pelaku utama dan dibuka untuk masyarakat umum yang diawasi oleh krama desa.
Pelaku mekare hanya mengenakan kamben dan bertelanjang dada serta diupayakan agar tidak melakukan aksi berlebihan, seperti memukul ataupun menyerang bagian wajah, sebaliknya memunculkan nilai seni tari dalam setiap gerakannya, bahkan yang terutama keiklasan mengalami luka yang ditimbulkan serangan lawan. luka yang dialami diyakini sebagai persembahan kepada dewa Indra.
Apabila ritual mekare dipandang sudah cukup, antara krama desa dan truna melakukan kegiatan mecane, yakni menyolek campuran beras dan kunyit.
Sembari melakukan kegiatan makan bersama, para pelaku mekare diberikan pengobatan luka melalui mengoleskan boreh kare.
Sebagai prosesi akhir dari ritual mekare, para krama desa dan truna melakukan kegiatan menuangkan tuak ke tapan yang disertai mekare simbolis.
Penuangan tuak dilakukan secara bergiliran sesuai dengan kedudukan krama desa dari yang terbawah sampai tingkat yang paling atas yang kemudian ditutup dengan krama desa berputar sebanyak tiga kali berlawanan arah jarum jam.
Dari seluruh rangkaian mekare-kare, warga desa adat Tenganan Pegringsingan meyakini bahwa keiklasan dan ketulusan merupakan persembahan utama kehadapan Tuhan.
Mekare-kare berkorban darah bukan merupakan ritual untuk menilai menang dan kalah, kuat dan lemah, melainkan sebagai ritual yang menggambarkan kebanggaan kepada leluhur yang telah mewariskan budaya kuna disertai pembelajaran konsep-konsep kehidupan yang secara tidak langsung juga telah memberikan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat setempat. (Dita)